PENDIDIKAN ANAK DI SD
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Ilmu pendidikan berpendirian bahwa semua
anak miliki perbedaan dalam perkembangan yang dialami, kemampuan yang dimiliki,
dan hambatan yang dihadapi. Akan tetapi ilmu pendidikan juga berpendirian bahwa
meskipun setiap anak mempunyai perpedaan-perbedaan, mereka tetap sama yaitu
sebagai seorang anak. Oleh karena itu jika kita berhadapan dengan seorang arang
anak, yang pertama harus dilihat, ia adalah seorang anak, bukan label
kesulitannya semata-mata yang dilihat. Dengan kata lain pendidikan melihat anak
dari sudut pandang yang positif, dan selalu melihat
adanya harapan bahwa anak akan dapat berkembang secara optimal sesuai dengan
potensi yang dimilikinya. Sudut pandang seperti inilah yang mendorong para
pendidik untuk bersikap optimis dan tidak pernah menyerah.
Pendidikan memposisikan anak sebagai
pusat aktivitas dalam pembelajaran. Ketika pembelajaran dilakukan maka
pertimbangan pertama yang diperhitungkan adalah apa yang menjadi hambatan
belajar dan kebutuhan anak. Apabila hal itu dapat diketahui maka aktivitas
pendidikan akan dipusatkan kepada apa yang dibutuhkan oleh seorang anak, bukan
pada apa yang diinginkan oleh orang lain. Pendirian seperti itu menganggap
bahwa fungsi pendidikan antara lain untuk memfasilitasi agar anak
berkembang menjadi dirinya sendiri secara optimal sejalan dengan potensi yang
dimilikinya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud kesulitan belajar?
2.
Apa faktor penyebab anak kesulitan belajar?
3.
Bagaimana gejala anak kesulitan belajar?
4.
Apa saja klasifikasi kesulitan belajar?
5.
Bagaimana penanganan pada anak kesulitan belajar?
C. TUJUAN
DAN MANFAAT
1.
Mengetahui dan
memahami apa yang dimaksud dengan kesulitan belajar
2.
Mengetahui
faktor-faktor penyebab anak kesulitan belajar
3.
Mengetahui
gejala anak yang mengalami kesulitan belajar
4.
Mengetahui
klasifikasi kesulitan belajar
5.
Mengetahui dan
memahami cara menangani anak kesulitan belajar
BAB
II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
KESULITAN BELAJAR
Secara harfiah
kesulitan belajar merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Learning
Disability” yang berarti ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan
kesulitan” untuk memberikan kesan optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu
untuk belajar. Istilah lain learning disabilities adalah learning
difficulties dan learning differences. Ketiga istilah tersebut
memiliki nuansa pengertian yang berbeda. Di satu pihak, penggunaan istilah learning
differences lebih bernada positif, namun di pihak lain istilah learning
disabilities lebih menggambarkan kondisi faktualnya. Untuk menghindari bias
dan perbedaan rujukan, maka digunakan istilah Kesulitan Belajar. Kesulitan
belajar adalah ketidakmampuan belajar , istilah kata yakni disfungsi otak
minimal ada yang lain lagi istilahnya yakni gangguan neurologist.
Menurut national institute of health, USA kesulitan
belajar adalah hambatan/gangguan belajar pada anak dan remaaj yang ditandai
oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara intelegensia dan kemampuan
akademik yang seharusnya dicapai lebih lanjut dijelaskan bahwa kesulitan belajar disebabkan oleh
gangguan di dalam sistem saraf pusat otak (gangguan neurobiologis) yang dapat
menyebabkan gangguan perkembangan, seperti perkembangan membaca, menulis,
pemahaman dan berhitung.
Menurut Hammill (1981) kesulitan belajar adalah beragam bentuk kesulitan
yang nyata dalam aktivitas mendengarkan, bercakapcakap, membaca, menulis,
menalar, dan/atau dalam berhitung. Gangguan tersebut berupa gangguan intrinsik
yang diduga karena adanya disfungsi sistem saraf pusat. Kesulitan belajar
bisa terjadi bersamaan dengan gangguan lain (misalnya gangguan sensoris,
hambatan sosial, dan emosional) dan pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan
budaya atau proses pembelajaran yang tidak sesuai). Gangguan-gangguan eksternal
tersebut tidak menjadi faktor penyebab kondisi kesulitan belajar, walaupun
menjadi faktor yang memperburuk kondisi kesulitan belajar yang sudah ada.
B.
FAKTOR PENYEBAB ANAK KESULITAN BELAJAR
Ada beberapa penyebab kesulitan belajar yang terdapat
pada literatur dan hasil riset (Harwell, 2001), yaitu :
1.
Faktor keturunan/bawaan
2.
Gangguan semasa kehamilan, saat melahirkan atau prematur
3.
Kondisi janin yang tidak menerima cukup oksigen atau
nutrisi dan atau ibu yang merokok, menggunakan obat-obatan (drugs), atau
meminum alkohol selama masa kehamilan.
4.
Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi,
trauma kepala, atau pernah tenggelam.
5.
Infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita.
Anak dengan kesulitan belajar biasanya mempunyai sistem imun yang lemah.
6.
Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan
aluminium, arsenik, merkuri/raksa, dan neurotoksin lainnya.
Riset menunjukkan bahwa apa yang terjadi selama
tahun-tahun awal kelahiran sampai umur 4 tahun adalah masa-masa kritis yang
penting terhadap pembelajaran ke depannya. Stimulasi pada masa bayi dan kondisi
budaya juga mempengaruhi belajar anak. Pada masa awal kelahiran sampai usia 3
tahun misalnya, anak mempelajari bahasa dengan cara mendengar lagu, berbicara
kepadanya, atau membacakannya cerita. Pada beberpa kondisi, interaksi ini
kurang dilakuan, yang bisa saja berkontribusi terhadap kurangnya kemampuan
fonologi anak yang dapat membuat anak sulit membaca (Harwell, 2001).
Sementara Kirk & Ghallager (1986) menyebutkan faktor
penyebab kesulitan belajar sebagai berikut:
1.
Faktor Disfungsi Otak
Penelitian mengenai disfungsi otak dimulai oleh Alfred Strauss di Amerika
Serikat pada akhir tahun 1930-an, yang menjelaskan hubungan kerusakan otak
dengan bahasa, hiperaktivitas dan kerusakan perseptual. Penelitian berlanjut ke
area neuropsychology yang menekankan adanya perbedaan pada hemisfer
otak. Menurut Wittrock dan Gordon, hemisfer kiri otak berhubungan dengan
kemampuan sequential linguistic atau kemampuan verbal; hemisfer kanan
otak berhubungan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan auditori termasuk
melodi, suara yang tidak berarti, tugas visual-spasial dan aktivitas non
verbal. Temuan Harness, Epstein, dan Gordon mendukung penemuan sebelumnya bahwa
anak-anak dengan kesulitan belajar (learning difficulty) menampilkan
kinerja yang lebih baik daripada kelompoknya ketika kegiatan yang mereka
lakukan berhubungan dengan otak kanan, dan buruk ketika melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan otak kiri. Gaddes mengatakan bahwa 15% dari anak yang
termasuk underachiever, memiliki disfungsi system syaraf pusat (dalam
Kirk & Ghallager, 1986).
2. Faktor Genetik
Hallgren melakukan penelitian di Swedia dan menemukan bahwa faktor
herediter menentukan ketidakmampuan dalam membaca, menulis dan mengeja diantara
orang-orang yang didiagnosa disleksia. Penelitian lain dilakukan oleh Hermann
(dalam Kirk & Ghallager, 1986) yang meneliti disleksia pada kembar identik
dan kembar tidak identik yang menemukan bahwa frekuensi disleksia pada kembar
identik lebih banyak daripada kembar tidak identik sehingga ia menyimpulkan
bahwa ketidakmampuan membaca, mengeja dan menulis adalah sesuatuyang
diturunkan.
3.
Faktor Lingkungan dan
Malnutrisi
Kurangnya stimulasi dari lingkungan dan malnutrisi yang terjadi di usia
awal kehidupan merupakan dua hal yang saling berkaitan yang dapat menyebabkan
munculnya kesulitan belajar pada anak. Cruickshank dan Hallahan (dalam Kirk
& Ghallager, 1986) menemukan bahwa meskipun tidak ada hubungan yang jelas
antara malnutrisi dan kesulitan belajar, malnutrisi berat pada usia awal akan
mempengaruhi sistem syaraf pusat dan kemampuan belajar serta berkembang anak.
4.
Faktor Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap kesulitan belajar
masih menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Comfers
(dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa obat stimulan dalam jangka
pendek dapat mengurangi hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian
penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986) membuktikan hal yang
sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold menyebutkan bahwa alergi,
perasa dan pewarna buatan hiperkinesis pada anak yang kemudian akan menyebabkan
kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet salisilat dan bahan makanan
buatan kepada anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Pada sebagian anak, diet
ini berhasil namun ada juga yang tidak cukup berhasil. Beberapa ahli kemudian
menyebutkan bahwa memang ada beberapa anak yang tidak cocok dengan bahan
makanan.
Mulyono Abdurrahman mengatakan bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor Internal, yaitu kemungkinan adanya
disfungsi neurologis, sedangkan penyebab utama problema belajar adalah faktor
eksternal, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru,
pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak,
dan pemberian ulangan penguatan.
C. GEJALA
ANAK KESULITAN BELAJAR
1. Pada Usia Pra Sekolah
Terlambat bicara dibanding dengan
anak seusianya
Memiliki kesulitan dalam
mengucapkan beberapa kata
Dibandingkan anak seusianya,
penguasaan jumlah katanya lebih sedikit (terbatas)
Sering tidak mampu menemukan kata
yang sesuai untuk satu kalimat yang akan dikemukakan
Sulit mempelajari dan mengenali
angka, huruf dan nama-nama hari
Sulit merangkai kata untuk
menjadi sebuah kalimat
Sering gelisah yang berlebihan
Mudah terganggu konsentrasinya
Sulit berinteraksi dengan teman
seusianya
Sulit mengikuti instruksi yang
diberikan untuknya
Sulit mengikuti rutinitas tertentu
Menghindari tugas-tugas tertentu
seperti menggunting dan menggambar
2. Pada Usia Sekolah
Daya ingatnya terbatas (kurang baik)
Sering melakukan kesalahan yang
konsisten dalam mengeja dan membaca. Misalnya: huruf “d” dibaca “b” Contoh: duku
dibaca buku atau sebaliknya buku dibaca duku. “p” dibaca “q”, “w” dibaca “m”
dan sebagainya. Bila ini yang terjadi mereka termasuk dalam kelompok
berkesulitan belajar disleksia.
Lambat untuk mempelajari hubungan
antara huruf dengan bunyi pengucapannya.
Bingung dengan operasionalisasi
tanda-tanda dalam pelajaran matematika. Misalnya tak dapat membedakan arti dari
symbol minus (-), symbol plus (+) dan symbol kali (x) dan sebagainya
Sulit dalam mempelajari
ketrampilan baru, terutama yang membutuhkan daya ingatnya.
Impulsif (bertindak tanpa dipikir lebih dahulu).
Sulit berkonsentrasi Sering melanggar peraturan baik
di rumah maupun di sekolah. Tidak
mampu berdisiplin seperti sulit merencanakan kegiatan sehari-hari. Emosional, penyendiri, pemurung, mudah tersinggung,
acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Menolak
sekolah.Tidak stabil dalam memegang alat-alat tulis Kacau dalam memahami hari dan waktu
3. Pada Usia Remaja/Dewasa
Sulit/salah mengeja huruf berlanjut hingga dewasa
Masih sering menghindari
tugas-tugas membaca dan menulis. Mungkin saja lancar membacanya
tapi tidak mengerti atau tidak bisa menjelaskan apa yang telah dibacanya.
Sulit menjawab pertanyaan yang
membutuhkan penjelasan lisan dan/atau tulisan.
Daya ingat terbatas.
Sulit menangkap konsep-konsep
yang abstrak. Lamban dalam bekerja.
Sering tidak teliti/ceroboh pada
hal-hal yang seharusnya rinci atau sebaliknya justru fokus pada hal-hal yang
rinci. Bisa salah (distorsi) dalam membaca informasi.
D. KLASIFIKASI KESULITAN BELAJAR
1.
Kesulitan Belajar Perkembangan (Praakademik)
Kesulitan yang bersifat perkembangan meliputi:
a. Gangguan Perkembangan Motorik (Gerak)
Gangguan pada
kemampuan melakukan gerak dan koordinasi alat gerak. Bentuk-bentuk gangguan
perkembangan motorik meliputi; motorik kasar (gerakan melimpah, gerakan
canggung), motorik halus (gerakan jari jemari), penghayatan tubuh, pemahaman
keruangan dan lateralisasi (arah).
b. Gangguan Perkembangan Sensorik (Penginderaan)
Gangguan pada
kemampuan menangkap rangsang dari luar melalui alat-alat indera. Gangguan
tersebut mencakup pada proses penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman,
dan pengecap.
c. Gangguan Perkembangan Perseptual (Pemahaman atau apa yang
diinderai)
Gangguan pada
kemampuan mengolah dan memahami rangsang dari proses penginderaan sehingga
menjadi informasi yang bermakna. Bentuk-bentuk gangguan tersebut meliputi:
·
Gangguan dalam Persepsi Auditoris, berupa kesulitan
memahami objek yang didengarkan.
·
Gangguan dalam Persepsi Visual, berupa kesulitan memahami
objek yang dilihat.
·
Gangguan dalam Persepsi Visual Motorik, berupa kesulitan
memahami objek yang bergerak atau digerakkan.
·
Gangguan Memori, berupa ingatan jangka panjang dan
pendek.
·
Gangguan dalam Pemahaman Konsep.
·
Gangguan Spasial, berupa pemahaman konsep ruang.
d. Gangguan Perkembangan Perilaku
Gangguan pada
kemampuan menata dan mengendalikan diri yang bersifat
internal dari dalam diri anak. Gangguan tersebut
meliputi:
ADD (Attention
Deficit Disorder) atau gangguan perhatian
ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder) atau gangguan perhatian yang disertai
hiperaktivitas.
2.
Kesulitan Belajar Akademik
a.
Disleksia atau Kesulitan Membaca
Disleksia (bahasa Inggris: dyslexia) adalah sebuah gangguan dalam perkembangan baca-tulis yang umumnya terjadi
pada anak menginjak usia 7 hingga 8 tahun.
Disleksia terdiri dari dua perkataan Yunani yaitu "DYN" bermakna
susah, dan "LEXIA" bermakna tulisan. Disleksia bukannya suatu penyakit,
tetapi merupakan salah satu gangguan dalam pembelajaran yang biasanya di alami
oleh anak-anak. Lebih tepatnya, masalah pembelajaran yang dihadapi adalah
seperti membaca, menulis, mengeja, dan kemahiran mengira. Oleh itu disleksia
mengarah kepada mereka yang menghadapi masalah-masalah membaca dan menulis
walaupun mempunyai daya pemikiran yang normal.
Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah
penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses.
Faktor-Faktor Penyebab Gejala Disleksia
Disleksia disebabkan adanya masalah di bagian otak, yang
mengatur proses belajar. Faktor genetik atau keturunan juga berperan. Misalnya,
jika seorang ayah susah membaca atau mengalami disleksia, bukan tidak mungkin
si anak akan mengalami kesulitan serupa.
Meski belum ada yang dapat memastikan penyebab disleksia
ini, penelitian-penelitian menyimpulkan adanya 3 faktor penyebab, yaitu;
1) Faktor keturunan
Disleksia cenderung terdapat pada keluarga yang mempunyai
anggota kidal. Orang tua yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini
kepada anak-anaknya, dan anak kidal juga bisa jadi disleksia. Penelitian John
Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari
seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar
belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di
antaranya punya anggota keluarga yang kidal.
2)
Problem pendengaran sejak usia dini
Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami
flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran
dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi
ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter
ahli. Jika
kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang
sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya
dengan huruf atau kata yang dilihatnya.
3)
Faktor kombinasi
Ada pula kasus disleksia yang disebabkan kombinasi dari 2
faktor di atas, yaitu problem pendengaran sejak kecil dan faktor
keturunan.Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan
disleksia menjadi semakin serius, hingga perlu penanganan menyeluruh.
Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut
dewasa.
Dengan perkembangan teknologi CT Scan, bisa dilihat bahwa
perkembangan sel-sel otak penderita disleksia berbeda dari mereka yang
nondisleksia. Perbedaan ini mempengaruhi pada perkembangan dan fungsi-fungsi
tertentu di bagian otak mereka, terutama otak bagian kiri depan yang
berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Selain itu, terjadi perkembangan yang tidak proporsional
pada sistem magno-cellular di otak penderita disleksia.
Sistem ini berhubungan dengan kemampuan melihat benda
bergerak. Akibatnya, objek yang mereka lihat tampak berukuran lebih kecil. Kondisi
ini menyebabkan proses membaca jadi lebih sulit karena saat itu otak harus
mengenali secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata berbeda yang terlihat
secara bersamaan oleh mata.
Ciri-Ciri Anak Disleksia
Gangguan disleksia biasanya baru bisa terdeteksi setelah
anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu, seperti halnya anak yang baru
memasuki sekolah TK, kemampuan membaca anak yang baru memasuki TK tidak menjadi
tuntutan untuk di haruskan bisa membaca. Oleh sebab itu, gejala disleksia
sangat sulit diketahui sejak usia dini. Adapun ciri –
cirri anak disleksia diantaranya :
Ø Tidak dapat
mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
Ø Kesulitan dalam
mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya kata "saya" urutan
hurufnya adalah s ¬ a ¬ y ¬ a.
Ø Sulit menyuarakan
fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
Ø Sulit mengeja
secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan mengeja satu kata dengan
bermacam ucapan. Walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama.
Ø Sulit mengeja kata
atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak dengan gangguan ini akan
terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf
yang mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga tidak
dapat membedakan huruf yang memiliki kemiripan bunyi, seperti v, f, th.
Ø Membaca suatu kata
dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lainnya, dan lupa
meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru, tandatanya, dan
tanda baca lainnya.
Ø Bermasalah ketika
harus memahami apa yang harus dibaca. Ia mungkin bisa membaca dengan benar,
tapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
Ø Sering
terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya "hal"
menjadi "lah" atau "Kucing duduk di atas kursi" menjadi
"Kursi duduk di atas kucing." Lupa mencantumkan huruf besar atau
mencantumkannya pada tempat yang salah.
Ø Keliru terhadap
kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan, jadi.
Serta, bingung menentukan harus menggunakan tangan yang
mana untuk menulis.
Ø Menulis huruf dan
angka dengan hasil yang kurang baik. Serta, terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata.
Anak dengan gangguan ini biasanya menulis dengan tidak
stabil, tulisannya kadang naik dan kadang turun.
Anak baru bisa didiagnosis disleksia atau tidak saat anak
di usia SD, yaitu sekitar 7-8 tahun. Karena di usia balita seorang anak belum
ditargetkan untuk bisa membaca.
b. Disgrafia atau Kesulitan Menulis
Disgrafia adalah kesulitan khusus dimana anak-anak tidak bisa menuliskan
atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan, karena mereka tidak bisa menyuruh atau menyusun kata
dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis.
Pada anak-anak, umumnya kesulitan ini terjadi pada saat anak mulai belajar
menulis. Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang bisa
sangat fasih dalam berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai
kesulitan menulis. Kesulitan dalam menulis biasanya
menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang
berada di tingkat SD.
Kesulitan dalam menulis seringkali juga
disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak
yang bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali
mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke
dalam bentuk tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan. Sebagai langkah awal
dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan disebabkan
tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau
belajar.
Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian
orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses visual
motoriknya. Dysgraphia / Disgrafia adalah learning disorder dengan ciri perifernya
berupa ketidakmampuan menulis, terlepas dari kemampuan anak dalam membaca
maupun tingkat intelegensianya. Disgrafia
diidentifikasi sebagai keterampilan menulis yang secara terus-menerus berada di
bawah ekspektasi jika dibandingkan usia anak dan tingkat intelegensianya.
Penyebab
Disgrafia
Secara spesifik penyebab
disgrafia tidak diketahui secara pasti, namun apabila disgrafia terjadi secara
tiba-tiba pada anak maupun orang yang telah dewasa maka diduga disgrafia
disebabkan oleh trauma kepala entah karena kecelakaan, penyakit, dan
seterusnya. Disamping itu para ahli juga menemukan bahwa anak dengan gejala
disgrafia terkadang mempunyai anggota keluarga yang memiliki gejala serupa. Demikian
ada kemungkinan faktor herediter ikut berperan dalam disgrafia.
Seperti halnya disleksia,
disgrafia juga disebabkan faktor neurologis, yakni adanya gangguan pada otak
bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Anak
mengalami kesuitan dalam harmonisasi secara otomatis antara kemampuan mengingat
dan menguasai gerakan otot menulis huruf dan angka. Kesulitan ini tak terkait
dengan masalah kemampuan intelektual, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak
mau belajar.
Ciri-Ciri
Disgrafia
Ada beberapa ciri khusus anak
dengan gangguan ini. Di antaranya adalah:
1.
Terdapat ketidakkonsistenan
bentuk huruf dalam tulisannya.
2.
Saat menulis, penggunaan huruf
besar dan huruf kecil masih tercampur.
3.
Ukuran dan bentuk huruf dalam
tulisannya tidak proporsional.
4.
Anak tampak harus berusaha keras
saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
5.
Sulit memegang bolpoin maupun
pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan
kertas.
6.
Berbicara pada diri sendiri
ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7.
Cara menulis tidak konsisten,
tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
8.
Tetap mengalami kesulitan
meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
c. Diskalkulia atau Kesulitan Belajar
Matematika
Menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting, Jakarta,
diskalkulia dikenal juga dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut
gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat
ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung
(counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan
menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya
ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang
melibatkan angka ataupun simbol matematis.
Kesulitan belajar matematika merupakan salah satu jenis kesulitan belajar
yang spesifik dengan prasyarat rata-rata normal atau sedikit dibawah rata-rata,
tidak ada gangguan penglihatan atau pendengaran, tidak ada gangguan emosional
primer, atau lingkungan yang kurang menunjang. masalah yang dihadapi yaitu sulit
melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian yang disebabkab
adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada periode perkembangan.
Anak berkesulitan belajar matematika bukan tidak mampu belajar, tetapi
mengalami kesulitan tertentu yang menjadikannya tidak siap belajar. Matematika
sering menjadi pelajaran yang paling ditakuti di sekolah. Anak dengan gangguan
diskalkulia disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca, imajinasi,
mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman, terutama dalam memahami soal-soal
cerita. Anak-anak diskalkulia tidak bisa mencerna sebuah fenomena yang masih
abstrak. Biasanya sesuatu yang abstrak itu harus divisualisasikan atau dibuat
konkret, baru mereka bisa mencerna. selain itu anak berkesulitan belajar
matematika dikarenakan pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan
motivasi belajar siswa, metode pembelajaran yang cenderung menggunakan cara
konvesional, ceramah dan tugas. Guru kurang mampu memotivasi anak didiknya.
Ketidak tepatan dalam memberikan pendekatan atau strategi pembelajaran.
Penyebab
Diskalkulia
Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar dapat digolongkan ke dalam dua
golongan, yaitu :
Faktor intern (faktor dari dalam diri anak itu sendiri ) yang meliputi:
1)
Faktor fisiologi
Faktor fisiologi adalah faktor fisik dari anak itu sendiri. seorang anak
yang sedang sakit, tentunya akan mengalami kelemahan secara fisik, sehingga
proses menerima pelajaran, memahami pelajaran menjadi tidak sempurna. Selain
sakit faktor fisiologis yang perlu kita perhatikan karena dapat menjadi
penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah cacat tubuh, yang dapat
kita bagi lagi menjadi cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran,
kurang penglihatan, serta gangguan gerak, serta cacat tubuh yang tetap (serius)
seperti buta, tuli, bisu, dan lain sebagainya.
2)
Faktor psikologis
Faktor psikologis adalah berbagai hal yang berkenaan dengan berbagai
perilaku yang ada dibutuhkan dalam belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa
belajar tentunya memerlukan sebuah kesiapan, ketenangan, rasa aman. Selain itu
yang juga termasuk dalam faktor psikoogis ini adalah intelligensi yang dimiliki
oleh anak. Anak yang memiliki IQ cerdas (110 – 140), atu genius (lebih dari
140) memiliki potensi untuk memahami pelajaran dengan cepat. Sedangkan
anak-anak yang tergolong sedang (90 – 110) tentunya tidak terlalu mengalami
masalah walaupun juga pencapaiannya tidak terlalu tinggi. Sedangkan anak yang
memiliki IQ dibawah 90 ataubahkan dibawah 60 tentunya memiliki potensi
mengalami kesulitan dalam masalah belajar. Untuk itu, maka orang tua, serta
guru perlu mengetahui tingkat IQ yang dimiliki anak atau anak didiknya. Selain
IQ faktor psikologis yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan
belajar adalah bakat, minat, motivasi, kondisi kesehatan mental anak, dan juga
tipe anak dalam belajar.
Faktor ekstern (faktor dari luar anak) meliputi ;
1.
Faktor-faktor sosial
Yaitu faktor-faktor seperti cara mendidik anak oleh orang tua mereka di
rumah. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup tentunya akan
berbeda dengan anak-anak yang cukup mendapatkan perhatian, atau anak yang
terlalu diberikan perhatian. Selain itu juga bagimana hubungan orang tua dengan
anak, apakah harmonis, atau jarang bertemu, atau bahkan terpisah. Hal ini
tentunya juga memberikan pengaruh pada kebiasaan belajar anak.
2.
Faktor-faktor non- sosial
Faktor-faktor non-sosial yang
dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah faktor guru
di sekolah, kemudian alat-alat pembelajaran, kondisi tempat belajar, serta
kurikulum.
Ciri-Ciri Diskalkulia
1.
Tingkat perkembangan bahasa dan
kemampuan lainnya normal, malah seringkali mempunyai memori visual yang baik
dalam merekam kata-kata tertulis.
2.
Sulit melakukan hitungan
matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit menghitung transaksi (belanja),
termasuk menghitung kembalian uang. Seringkali anak tersebut jadi takut
memegang uang, menghindari transaksi, atau apa pun kegiatan yang harus
melibatkan uang.
3.
Sulit melakukan proses-proses
matematis, seperti menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami
konsep hitungan angka atau urutan.
4.
Terkadang mengalami disorientasi,
seperti disorientasi waktu dan arah. Si anak biasanya bingung saat ditanya jam
berapa sekarang. Ia juga tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk
arah.
5.
Mengalami hambatan dalam
menggunakan konsep abstrak tentang waktu. Misalnya, ia bingung dalam mengurut
kejadian masa lalu atau masa mendatang.
6.
Sering melakukan kesalahan ketika
melakukan perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi, mengulang
terbalik, dan mengisi deret hitung serta deret ukur.
7.
Mengalami hambatan dalam
mempelajari musik, terutama karena sulit memahami notasi, urutan nada, dan
sebagainya.
8.
Bisa juga mengalami kesulitan
dalam aktivitas olahraga karena bingung mengikuti aturan main yang berhubungan
sistem skor.
Deteksi diskalkulia bisa
dilakukan sejak kecil, tapi juga disesuaikan dengan perkembangan usia. Anak
usia 4- 5 tahun biasanya belum diwajibkan mengenal konsep jumlah, hanya konsep
hitungan Sementara anak usia 6 tahun ke atas umumnya sudah mulai dikenalkan
dengan konsep jumlah yang menggunakan simbol seperti penambahan (+) dan
pengurangan (-). Jika pada usia 6 tahun anak sulit mengenali konsep jumlah,
maka kemungkinan nantinya dia akan mengalami kesulitan berhitung. Proses
berhitung melibatkan pola pikir serta kemampuan menganalisis dan memecahkan
masalah. Faktor genetik mungkin berperan pada kasus diskalkulia, tapi faktor
lingkungan dan simulasi juga bisa ikut menentukan. Alat peraga juga sangat
bagus untuk digunakan, karena dalam matematika menggunakan simbol-simbol yang
bersifat abstrak. Jadi, supaya lebih konkret digunakan alat peraga sehingga
anak lebih mudah mengenal konsep matematika itu sendiri.
E. PENANGANAN ANAK KESULITAN BELAJAR
Penanganan anak-anak yang
berkesulitan belajar secara umum bertujuan:
Ø Membangkitkan kesadaran tentang dirinya
Ø Mengoptimalkan potensi positif dan meminimalkan kesulitan/kekurangan dalam
dirinya
Ø Menjadi orang yang mandiri sehingga mampu mencari solusi permasalahan hidup
sehari-hari.
Mereka perlu diarahkan untuk
mempelajari hal-hal:
Ø Bagaimana mulai mengerjakan tugas
Ø Bagaimana cara belajar yang efektif misalnya bagaimana memegang pensil
dengan benar.
Ø Bagaimana mendengarkan instruksi
Ø Bagaimana mengamati
Ø Bagaimana mengorganisasikan barang-barang miliknya agar teratur.
Penanganan anak berkesulitan
belajar memerlukan kerjasama yang baik, positif dan supportive antara orang
tua, guru di sekolah dan beberapa orang professional seperti: dokter anak,
psikiater anak, psikolog, terapis. Diperlukan upaya yang berkesinambungan untuk
melaksanakan penanganannya.
Orang
tua dan guru wajib memahami :
Ø Setiap anak adalah unik tidak bisa disamaratakan. Masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Sehingga penanganan/pendekatan setiap anak disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing anak.
Ø Kematangan setiap anak berbeda satu sama lain.
Ø Mereka membutuhkan lingkungan yang hangat, keceriaan, memberikan dukungan
penuh agar mereka tidak merasa dikucilkan
Ø Konsisten dengan peraturan/disiplin sehingga mereka tahu apa yang boleh apa
yang tidak boleh.
Ø Rutinitas kegiatan supaya mereka focus pada tugas dan kewajibannya.
Ø Hindarkan materi yang terlalu abstrak supaya mudah mereka pahami.
Ø Melatih penggunaan penginderaannya agar mereka memperoleh pengalaman nyata
sehingga mudah diingat misalnya pengalaman menyentuh, merasakan, mencium,
melihat dan mendengar akan dapat mengorganisasikan dan mengintegrasikan
informasi kedalam otaknya.
Ø Menangani anak-anak yang berkesulitan belajar adalah proses yang panjang
dan kesabaran yang tidak mungkin dapat dilakukan secara instant.
1. Mengatasi
Anak yang Mengalami Disleksia
a. Metode
multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, disini anak akan
diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali,
tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil
(sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara
dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan
menuliskannya besar-besar di lembaran kertas.Cara ini dilakukan untuk
memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan
sentuhan.Sehingga mempermudah otak bekerja dengan mengingat kembali
huruf-huruf.
b. Membangun
rasa percaya diri
Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami
dan diketahui dalam lingkungannya, termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya,
mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa
membaca dan menulis dengan benar, seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena
itu, mereka sering dilecehkan, diejek, atau pun mendapatkan perlakuan negatif,
sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan.
Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap
kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu
faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan
strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan
pemahaman yang sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku
cerita sederhana.
c. Terapi
Saat anak diketahui mengalami gangguan disleksia, patut
diberikan terapi sedini mungkin, seperti terapi mengulang dengan penuh
kesabaran dan ketekunan untuk membantu si anak mengatasi kesulitannya.
Anak-anak yang mengalami disleksia sering merasakan tidak dapat melakukan atau
menghasilkan yang terbaik seperti yang mereka inginkan.
Oleh sebab itu, guru-guru di sekolah seharusnya bisa
melakukan beberapa cara untuk membantu anak-anak tersebut, seperti menggunakan
alat tulis berbagai warna untuk menulis kata yang penting, memberikan waktu
istirahat selama 10 menit dari setiap 20 menit belajar membaca, memberikan
waktu lebih saat menulis dan membaca.
Guru juga dapat memberikan soal atau tulisan dengan
ukuran huruf yang lebih besar agar terlihat jelas dan dapat menarik penglihatan
mereka. Intinya, anak-anak penderita disleksia perlu diberikan kesempatan yang
sama dengan anak-anak lainnya. Karena, mereka juga memiliki potensi yang
besar.Dan anak-anak itu butuh perhatian khusus.
2. Mengatasi Anak yang Mengalami
Disgrafia
Ada beberapa hal yang bisa
dilakukan orang tua untuk membantu anak dengan gangguan ini. Di antaranya:
a. Pahami keadaan anak
Sebaiknya pihak orang tua, guru,
atau pendamping memahami kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak
disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak seperti itu dengan
anak-anak lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru
maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika memungkinkan, berikan tugas-tugas
menulis yang singkat saja setiap hari. Atau bisa juga orang tua dari si anak
meminta kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan
gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.
b. Menyajikan tulisan cetak
Berikan kesempatan dan
kemungkinan kepada anak disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya
dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk menggunakan
alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan komputer, anak
bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui kesalahannya.
c. Membangun rasa percaya diri anak
Berikan pujian wajar pada setiap
usaha yang dilakukan anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan
karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan frustrasi. Kesabaran
orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan
terhadap usaha yang sedang dilakukannya.
d. Latih anak untuk terus menulis
Libatkan anak secara bertahap,
pilih strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas
menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya, seperti menulis
surat untuk teman, menulis pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang
tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia
dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk
tulisan konkret.
Adapun penanganan secara
terstruktur dapat dilakukan melalui beberapa hal berikut:
a. Faktor kesiapan menulis
Menulis membutuhkan kontrol
maskular, koordinasi mata-tangan, dan diskriminasi visual. Aktivitas yang
mendukung kontrol muskular antara lain: menggunting, mewarnai gambar, finger
painting, dan tracing. Kegiatan koordinasi mata-tangan antara lain:
membuat lingkaran dan menyalin bentuk geomteri. Sementara itu, pengembangan
diskriminasi visual dapat dilakukan dengan kegiatan membedakan bentuk, ukuran,
dan detailnya, sehingga anak menyadari bagaimana cara menulis suatu huruf.
b. Aktivitas lain yang mendukung
Ø Kegiatan yang memberikan kerja aktif dari pergerakan otot bahu, lengan atas
serta bawah, dan jari.
Ø Menelusuri bentuk geometri dan barisan titik.
Ø Menyambungkan titik.
Ø Membuat garis horizontal dari kiri ke kanan.
Ø Membuat garis vertikal dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
Ø Membuat bentuk-bentuk lingkaran dan kurva.
Ø Membuat garis miring secara vertikal.
Ø Menyalin bentuk-bentuk sederhana.
Ø Membedakan bentuk huruf yang mirip bentuknya dan huruf yang hampir sama
bunyinya.
c. Menulis huruf lepas/cetak
Ø Perlihatkan sebuah huruf yang akan ditulis.
Ø Ucapkan dengan jelas nama huruf dan arah garis untuk membuat huruf itu.
Ø Anak menelusuri huruf itu dengan jarinya sambil mengucapkan dengan jelas
arah garis untuk membuat huruf itu.
Ø Anak menelusuri garis tersebut dengan pensilnya.
Ø Anak menyalin contoh huruf itu di kertas/bukunya.
Jika cara ini sudah dikuasai,
mintalah anak menyambungkan titik yang dibentuk menjadi huruf tertentu, sampai
akhirnya anak mampu membuat huruf dengan baik tanpa dibantu. Tahap selanjutnya
adalah menulis kata dan kalimat.
3.
Mengatasi Anak yang Mengalami Diskalkulia
Penanganan pada anak Diskalkulia
1.
Guru dan orang tua harus
menyadari taraf perkembangan anak.
2.
Pendekatan yang sistematis dengan
alokasi waktu yang tepat buat anak.
3.
Perlu stategi belajar yang
efektif dan memancing anak untuk memepertanyakan matematika dalam dirinya.
4.
Pelatihan dan bimbingan buat
anak-anak yang akan membantu pemecahan masalah dalam menghadapi kesulitan
pelajaran matematika.
5.
Memverbalisasikan konsep
matematika yang rumit dengan cermat. Dengan cara ini mempermudah anak untuk
mengerti konsep matematika.
6.
Tulis angka-angka di atas kertas untuk mempermudah anak melihat. Dan
menuliskan urutan angka-angka untuk membantu memahami konsep angka secara
keseluruhan.
7.
Jangan biarkan anak untuk
berpikir secara abstrak tentang matematika.
8.
Matematika dapat digunakan dalam
konsep kegiatan sehari-hari. Seperti mengajak anak untuk menghitung kursi yang
ada dimeja makan. Usahakan anak aktif untuk menghitung dalam kegiatan ini.
9.
Berikan pujian ketika anak sudah
menujukkan kemajuan, tetapi jangan terlalu menekan anak untuk pandai berhitung.
10.
Gunakan gambar agar anak merasa
nyaman dan tidak terlalu fokus dengan penghitungan. Gunakan gambar yang
menyenangkan.
11. Ingatan anak diasah terus menerus agar ingatannya tentang
informasi-informasi yang ada tidak terbuang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Learning
disabilities atau kesulitan belajar adalah istilah untuk mereka yang mengalami
gangguan atau hambatan dalam hal memahami dan mempelajari sesuatu. Learning
disabilities disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal
diantaranya gangguan neurologist atau disfungsi otak dan psikologis serta
faktor eksternal diantaranya lingkungan tempat ia tinggal.
Klasifikasi kesulitan belajar
diantaranya disleksia yaitu kesulitan membaca, disgrafia, kesulitan menulis dan
diskalkulia kesulitan berhitung.
Anak yang mengalami kesulitan belajar
ini perlu mendapat bimbingan dan penanganan khusus. Mereka bukanlah tidak bisa
belajar, hanya membutuhkan perhatian lebih serta bimbingan untuk mengatasi
kesulitan yang mereka alami. Peran keluarga khususnya orang tua serta guru
sangat dibutuhkan untuk mengarahkan mereka agar bisa seperti layaknya anak
normal lain serta dapat menjalani kehidupannya di lingkungan masyarakat dengan
baik.
B. SARAN
Setiap anak
memiliki hal masing-masing yang membuat mereka berbeda. Begitu juga anak
kesulitan belajar. Mereka memang memiliki perbedaan dengan anak lainnya tetapi
mereka tetaplah anak-anak yang mmebutuhkan kasih sayang, perhatian serta
perlakuan yang sama. Dalam hal memperlakukan anak kesulitan belajar janganlah
menganggap perbedaan mereka menjadi hal yang negatif sehingga mereka
terkucilkan. Anak kesulitan belajar memiliki potensi serta kelebihan
bakat-bakat di samping kekurangan mereka. Memperhatikan serta membantu
mengembangkan bakat anak kesulitan belajar adalah hal yang perlu dilakukan
untuk membangkitkan kepercayaan diri dan mengaktualisasi diri mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195903241984031-ZAENAL_ALIMIN/KESULITAN_BELAJAR.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar